Julukan santri kelana untuk Mbah Wahab (KH Abdul Wahab Hasbullah) bukan tanpa sebab. Secara kalkulasi, terdapat kurun waktu 20 tahun beliau mencari dan meneguhkan bahwa keilmuan adalah harga mati.
Proses itu bermula ketika beliau berumur 13 tahun, mulai nyantri di pesantren langitan, Tuban, yang kala itu diasuh oleh KH Muhammad Nur tahun 1852 sampai ke Mekah pada tahun 1910. Mekah menjadi rujukan Mbah Wahab untuk memantapkan keilmuannya karena waktu itu Mekah merupakan sentral dalam keilmuan islam.
Komparasi dan internalisasi keilmuan yang dilakukan Mbah Wahab terhadap keilmuan yang didapatkannya dari Ulama Indonesia dan Mekah menjadikan beliau kaya akan sudut pandang. Tidak mudah kagetan dan moderat dalam berpikir ataupun dalam konteks gerakan.
“20 tahun beliau mencari dan meneguhkan bahwa keilmuan adalah harga mati.”
Itulah Mbah Wahab. Meski beliau sudah dianugerahi status sosial yang tinggi sejak lahir, beliau tidak serta merta ongkang-ongkang kaki menikmati keistimewaannya.
Dengan ilmu-ilmu inilah, membuat beliau mampu menjadi orang yang arif dan futuristik. Tidak heran, ketika beliau kembali ke Tanah Air, banyak sekali gebrakan dan ide-ide segar yang dirumuskannya. Mulai dari geopolitik, nasionalisme, pendidikan, ekonomi, pers, organisasi dan politik.
Di tangan Mbah Wahab, Nahdlatul Ulama (NU) selalu menjadi pemain inti dalam konteks kenegaraan, tidak dengan spirit ingin diakoni, dikultuskan, apalagi untuk kepentingan paling jorok, yaitu pragmatisme. Kita sebagai warga Nahdliyyin hanyalah generasi penerus para ‘Alim Ulama terdahulu, yang sejengkalpun tidak akan pernah mampu menyamai keilmuan serta keteguhannya dalam berjuang.
Waktu terus berjalan, hampir satu abad lamanya NU berdiri kokoh mengawal bumi pertiwi, rasa-rasanya hari ini, siapapun orangnya kok kurang lengkap kalau tidak ikut atau minimal mengklaim bahwa dia adalah warga Nahdliyyin.
Dari sosok Mbah Wahab kita belajar, bahwa perjuangan tidak cukup hanya dengan retorika semata, dan kontribusi lebih mulia daripada berebut klaim narasi.
Oleh: Ahmad Safarudin (Pengurus PB PMII dan Aktivis Muda NU DKI Jakarta)