Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti mengajak kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) memperbaiki kondisi bangsa.
Ada dua cara yang ditawarkan LaNyalla, yakni melakukan amandemen konstitusi ke-5 atau kembali ke naskah asli UUD 1945 untuk kemudian dilakukan penyempurnaan melalui adendum.
Tawaran itu disampaikan LaNyalla saat memberikan Orasi Kebangsaan pada Milad ke-75 Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), di Gedung Nusantara V, Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Sabtu (12/02/2022).
Kegiatan dengan tema Menyongsong 100 Tahun Indonesia ‘Revitalisasi Peran Strategis HMI untuk Indonesia Adil, Makmur dan Beradab’, dihadiri juga Anggota DPD RI Sulawesi Selatan Tamsil Linrung (Ketua PB HMI periode 1988-1990), Sekjen DPD RI Rahman Hadi, Staf Khusus Ketua DPD RI Sefdin Syaifudin.
Selanjutnya Koordinator Poros Nasional Kedaulatan Negara (PNKN) Abdullah Hehamahua, Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun, Peneliti Senior BRIN Siti Zuhro, dan Advokat Senior Eggy Sudjana,
“Sekarang bola saya lemparkan kepada kader-kader HMI di seluruh Indonesia. Apa yang harus kita lakukan dalam kondisi dan situasi bangsa seperti ini? Apakah akan memperbaiki Konstitusi yang sudah dibongkar total itu melalui amandemen ke-5? Atau kita harus kembali terlebih dahulu ke konstitusi asli untuk kemudian kita lakukan penyempurnaan melalui adendum dengan cara yang benar?” tutur LaNyalla.
Menurutnya, jika HMI ingin melakukan revitalisasi peran strategis untuk Indonesia yang adil, makmur dan beradab sesuai tema milad, maka HMI harus ikut menggugah kesadaran publik, bahwa Indonesia hari ini sudah jauh meninggalkan Pancasila sebagai way of life bangsa.
“Sistem tata negara yang ada di Indonesia saat ini, sudah jauh meninggalkan watak dan DNA asli sejarah lahirnya bangsa. Juga sudah jauh meninggalkan dan melupakan cita-cita luhur para pendiri bangsa,” paparnya.
Dijelaskannya, pendiri bangsa yang terdiri dari kaum terdidik, tokoh agama dan ulama, kaum pejuang kemerdekaan serta kaum pergerakan, pada tanggal 18 Agustus 1945 sepakat menganut sistem Demokrasi Pancasila untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
“Demokrasi Pancasila berbeda dengan isme-isme yang ada, seperti Liberalisme dan Kapitalisme di Barat atau Komunisme di Timur. Demokrasi Pancasila dengan titik tekan permusyawaratan perwakilan adalah jalan tengah yang lahir dari akal fitrah manusia sebagai makhluk yang berfikir dengan keadilan,” ujarnya.
LaNyalla menambahkan, ciri utama Demokrasi Pancasila adalah semua elemen bangsa yang berbeda-beda, harus terwakili sebagai pemilik kedaulatan utama yang berada dalam lembaga tertinggi negara.
Itulah mengapa pada konstitusi asli, sebelum dilakukan amandemen tahun 2002, MPR adalah lembaga tertinggi negara yang menjadi perwujudan kedaulatan rakyat dari semua elemen bangsa ini.
Baik itu elemen partai politik, TNI-Polri, elemen daerah-daerah dari Sabang sampai Merauke dan elemen golongan-golongan.
“Dengan demikian utuhlah demokrasi kita, semuanya terwakili. Sehingga menjadi demokrasi yang berkecukupan. Sehingga prinsip bahwa semua elemen bangsa terwakili mutlak menjadi ciri Demokrasi Pancasila,” tambahnya.
Perwakilan elemen bangsa yang disebut dengan Para Hikmat itu lalu bermusyawarah mufakat untuk menentukan arah perjalanan bangsa ini, sekaligus memilih Presiden dan Wakil Presiden untuk diberi mandat dalam menjalankan roda pemerintahan. Sehingga presiden terpilih adalah seorang mandataris rakyat. Alias petugas rakyat. Bukan petugas partai.
“Melihat keadaan saat ini saya ingin mengajak kita semuanya merasakan suasana kebatinan para pendiri bangsa kita. Seandainya mereka di tengah-tengah kita hari ini, dan melihat Indonesia hari ini. Apakah mereka akan bangga, karena cita-cita luhur dan hakiki dari lahirnya bangsa ini sudah terwujud? Atau sebaliknya, mereka akan menangis melihat arah perjalanan bangsa ini yang semakin menjadi bangsa yang liberal kapitalistik,” paparnya.
Oleh karena itu, lanjut LaNyalla, semua elemen harus berani bangkit dan berani melakukan koreksi untuk Indonesia yang lebih baik, yang berdaulat, berdikari dan mandiri. Sehingga tujuan hakiki dari lahirnya negara ini, yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia bisa terwujud.
“Yang pasti kerusakan ini harus disudahi. Dan semuanya harus berpikir sebagai negarawan. Harus memikirkan nasib anak cucu nanti. Karena seorang Negarawan tidak pernah berpikir tentang ‘next election’, tetapi berpikir tentang ‘next generation’,” ucap dia.
Apalagi HMI seperti pernah dikatakan Panglima Besar Jenderal Sudirman, bahwa HMI adalah organisasi yang bukan hanya dengan sebutan Himpunan Mahasiswa Islam, tetapi juga organisasi yang seharusnya menjadi harapan masyarakat Indonesia. Menurut LaNyalla, hal itu sebuah amanah dan tantangan yang harus dijalankan.
“Seberapa mampu HMI menjadi harapan masyarakat Indonesia. Seberapa konsisten HMI menjalankan pemikiran-pemikiran besar yang menjadi doktrin kaderisasi. Dan seberapa serius HMI menjalankan peran-peran strategis HMI untuk Indonesia yang adil, makmur dan beradab,” tutur dia.(*)